Kereta, Hujan dan Seorang Komponis Muda

Gardika Gigih Pradipta (dok. pribadi)
Gardika Gigih Pradipta (dok. pribadi)

Awalnya terpaksa, akhirnya jatuh cinta. Itulah yang terjadi pada Gardika Gigih Pradipta (24), terhadap musik. Berangkat dari paksaan sang ibunda untuk belajar musik, Gigih mulai mengikuti les piano sejak duduk di kelas 3 SD hingga lulus SMP. Saat itu, ia sama sekali tak menyukai musik.

Memasuki masa SMA, Gigih yang memilih melanjutkan studinya di SMA Kolesse de Brito Yogyakarta, mulai menemukan kecintaannya pada musik. “Banyak acara-acara musik yang bagus di Yogyakarta, lama-lama saya jadi suka musik. Saat itu Saya juga sudah mulai membuat beberapa lagu meski baru atas nama senang-senang,” kenang Gigih. Kelas 2 SMA, bulat sudah tekad Gigih untuk menggeluti dunia musik secara total. Setelah lulus SMA pada tahun 2007, ia memilih melanjutkan studi di Jurusan Musik, Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) Institut Seni Indonesia (ISI).

Putra dari pasangan Agus Purwoko dan Prasetyaningsih ini berhasil merampungkan studinya pada Januari 2011. Ia membuat karya orkestra berjudul Impresi 6 Peristiwa sebagai tugas akhirnya. Sebelum lulus, Gigih pernah terlibat bersama berbagai seniman dalam program “Menggelanggang”. “Menggelanggang” merupakan program Art Music Today (AMT) untuk residensi komponis selama sebulan dan pementasan karya electro-akustik dengan instrumen musik tradisi Indonesia di Auditorium Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta. Saat itu ia berkolaborasi dengan Tristan Coleman, Gatot D. Sulistyanto, dan Tony Maryana.

Pasca lulus, Gigih semakin sering berkolaborasi dengan seniman-seniman, baik nusantara maupun mancanegara. “Yang paling berkesan ketika saya berkolaborasi dengan Makoto Nomura, seorang komponis dan pianis dari Jepang. Dia banyak mempengaruhi saya dalam hal menikmati musik dan bermain musik,” ujar pria kelahiran Sragen, 5 Agustus 1990 ini. Saat itu, ia dan Makoto Nomura mementaskan duet pianika “Pak Dharma Bertemu Kawan Lama”. Ia juga sering berkolaborasi dengan grup musik indie, seperti Banda Neira, Layur, Jalan Pulang, Fraya.

Ada beberapa komponis yang menginspirasi Gigih dalam berkarya musik. Salah satunya Olafur Arnalds, seorang musisi, komponis, dan produser rekaman dari Islandia. Selain itu Ryuichi Sakamoto, Nils Frahms dan Layur juga menjadi tokoh inspiratif bagi Gigih. Jika suatu saat kesempatan datang, Ia berharap dapat berkolaborasi bersama Olafur Arnalds dan Nils Frahm. “Musik mereka sangat kuat. Keduanya musik instrumental tanpa vokal, tapi dalam banget,” ungkapnya.

Proses kreatif Gigih dalam mencari ide kemudian menuangkannya dalam bentuk karya musik cukup sederhana. “Biasanya saya hanya bermain-main di depan piano tanpa harus ribet-ribet memikirkan konsep. Tapi ketika sudah nyaman, saya coba tuliskan notasinya,” tutur pemilik postur dengan tinggi 167 cm dan bobot 67 Kg tersebut. Gigih juga menyebutkan, imajinasi dan suasana hati menjadi faktor penting yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya.

“Hujan dan Pertemuan seperti bukan musik saya. Entah dari mana datangnya. Saya seperti hanya berusaha menyampaikan energi. Rasanya begitu kuat dan dalam.”

Salah satu dari sekian banyak hal yang menarik dari karya-karya gigih adalah banyak karya-karyanya yang menyebutkan kata kereta dan hujan. Salah satunya adalah lagu berjudul Kereta dan Perjalanan Impian. Ketika ditanya mengenai alasan pemilihan judul tersebut, Gigih tak langsung menjawab. Ia bergeming sejenak. Lantas ia bersuara, “Setiap orang pasti memiliki harapan dan impian, Kereta menjadi semacam kendaraan bagi setiap orang yang ingin menuju ke harapannya.”

Kereta, menurutnya membuat ia mengenang kembali masa-masa SMA dulu. Tiap akhir pekan, ia hampir selalu naik kereta senja dari Yogyakrata untuk pulang ke Sragen. Banyak imajinasi tentang perjalanan. Pengalaman pulang dan pergi melekat kuat, karena itu pengalaman hidup dan tetap menjadi nostalgia dalam kehidupannya saat ini.

Selain kereta, Saat hujan membumi juga menghadirkan impresi yang kuat pada diri Gigih. Naluri sebagai seniman seringkali terusik kala hujan turun. Paling tidak, itulah yang terjadi saat ia menemukan melodi pada lagu Hujan dan Pertemuan. Kala itu, ia sedang berkutat dengan tuts-tuts piano di ruang piano kampusnya, saat hujan deras mengguyur tanpa tedeng aling-aling. “Hujan dan Pertemuan seperti bukan musik saya. Entah dari mana datangnya. Saya seperti hanya berusaha menyampaikan energi. Rasanya begitu kuat dan dalam,” kisahnya sembari menerawang.

Seringnya inspirasi datang dengan tiba-tiba jika sedang dalam suasana yang tak terduga. Meski begitu, hal itu tak berlaku ketika sedang memiliki mood dan feeling yang tidak tepat atau sedang tak memiliki imajinasi. “Rasa memang tak bisa dipaksakan,” tegasnya.

Gigih memang selalu bersemangat dalam bermusik. Lantas, apa esensi bermain musik sendiri baginya? Menurut Gigih, bermain musik berarti berbagi. Dengan bermusik, ia bisa berbagi cerita, perasaan, dan menyalurkan energi kepada orang lain. Saat ini, ia mengaku musik telah lebur dalam jiwa, perasaan dan juga kehidupan sehari-harinya. “Kita memang harus total ketika ingin menekuni segala sesuatu, ” pungkasnya.


One thought on “Kereta, Hujan dan Seorang Komponis Muda

Leave a comment