“A Night with Bach and Iskandar ‘Issi’ Widjaja”

“Saya ingin menjangkau penonton dan menyentuh mereka dengan apa yang saya lakukan.”

Iskandar Widjaja
Iskandar Widjaja (Kredit: http://www.iskandarwidjaja.com)

Jakarta baru diguyur hujan sore itu. Aspal di sepanjang jalan depan kantor tampak basah. Sisa-sisa hujan menggenang tenang di beberapa titik di pinggir jalan. Sesekali genangan itu buyar sebab terinjak langkah-langkah yang terburu. Pemilik langkah-langkah itu nampaknya tak peduli jika sepatu dan kaus kaki mereka basah. Tubuh dan pikiran sudah letih dihajar berbagai pekerjaan sedari pagi. Persetan dengan genangan. Yang penting segera sampai rumah, mandi, makan dan bersantai di depan televisi.

Hujan juga membuat udara Ibukota petang itu menjadi sejuk. Saya menghirup udara dalam-dalam. Menikmati kesejukan yang jarang-jarang ditemui di Jakarta.  Sayangnya, tidak ada bau khas tanah seperti yang biasa tercium setelah hujan turun. Tapi sekedar absennya bau khas sehabis hujan tidak cukup ampuh merusak suasana hati saya malam itu.

Setelah sekian lama tidak menyaksikan pertunjukan seni (terakhir bulan November),  akhirnya saya menyempatkan diri untuk menyaksikan konser musik tunggal seniman biola Iskandar Widjaja di Bentara Budaya Jakarta.

Iskandar Widjaja, violis Berlin yang masih keturunan Indonesia ini datang dari Jerman untuk tampil dalam pagelaran “A Night with Bach“, Selasa, 22 Maret 2016. Pentas ini menjadi semacam peringatan hari ulang tahun sang komponis dari era Barok, Johann Sebastian Bach yang lahir pada 21 Maret 1685. Sejujurnya, saya benar-benar buta tentang musik klasik. Saya juga belum pernah benar-benar mendengarkan karya-karya Bach. Satu-satunya karya Bach yang lumayan familiar di telinga saya hanyalah Invention No 13Itu pun berkat game Piano Tiles, yang berapa kalipun saya bermain pada lagu itu, skornya tidak pernah lebih tinggi dari 700.

Sekali lagi saya katakan, saya buta tentang musik klasik. Jadi ketika Issi—sapaan akrab Iskandar—mulai menggesek biolanya dengan mata terpejam dan raut wajah sendu, saya hanya mendengarkan, tanpa tahu apa judul musik yang sedang dimainkan. Tapi memang tak perlu tahu judul musiknya untuk tenggelam di dalam karya-karya Bach. Malam itu, Bach dan Issi menarik saya ke dalam dunia yang sebelumnya tidak pernah saya kenal. Kelelahan setelah seharian bekerja seperti menguap begitu saja. Ketegangan otot dan saraf berkurang. Saya merasa rileks, tenang, dan merasa tidak perlu lagi mencemaskan apa pun.

Belakangan Saya tahu dari seorang teman yang juga turut menonton, dalam pertunjukan itu, Issi memainkan Solo sonata G Minor BWV 1001 dari Adagio sampai Presto dan Partita D Minor dari Allemande sampai Chaconne. Chaconne disebut-sebut sebagai sebuah komposisi Bach yang paling spektakuler dan rumit, yang diciptakan Bach saat berduka dengan kematian sang istri Maria Barbara.

Bagi violis berambut ikal ini, musik karya  Bach ibarat roti, sudah menjadi santapan wajib sehari-hari. Kecintaannya terhadap karya-karya Bach memang sudah terjalin sejak lama. Solo sonata G Minor BWV 1001 misalnya, sudah ia mainkan sejak 10 tahun lalu, sementara Partita D Minor ia mainkan sejak 7 tahun lalu.

“Saya berlatih musik Bach setiap hari. Karya Bach seperti meditasi bagi saya,” ungkapnya disela-sela pertunjukan.

Aplaus panjang dari penonton diberikan kepada Issi setelah ia menyelesaikan Chaconne. Setelah membungkuk dalam, Ia kembali ke belakang panggung. Sesaat saya mengira pertunjukan sudah usai. Tetapi tiba-tiba Issi kembali memasuki panggung dan memainkan River Flows in You milik Yiruma dengan diiringi rekaman piano! Astagaa! Saya yang sudah bangkit dari tempat duduk buru-buru kembali duduk. Ini adalah salah satu karya Yiruma kesukaan saya selain Kiss The Rain. Saya memejamkan mata. Membiarkan alunan biola Issi sekali lagi menyeret saya ke dunia antah berantah.

Dalam sebuah wawancara di tahun 2012, Issi pernah berkata,”Saya ingin menjangkau penonton dan menyentuh mereka dengan apa yang saya lakukan.”

Saya akui dia berhasil.


One thought on ““A Night with Bach and Iskandar ‘Issi’ Widjaja”

Leave a reply to Lutfi Fauziah Cancel reply